BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
WHO mendefinisikan kesehatan adalah kondisi fisik, mental dan social yang
sempurna, bukan hanya ketidakhadiran penyakit belaka. Jika definisi ini dikaji lebih jauh, tidak banyak makhluk hidup yang benar-benar sakit. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa semua makhluk hidup selalu mempunyai penyakit (Soekidjo Natoatmodjo, 2007).
Sedangkan penyakit menurut cunningham dan saigo (2001), Penyakit merupakan
perubahan yang mengganggu kondisi tubuh sebagai respon dari faktor lingkungan
yang mungkin berupa nutrisi, kimia, biologi atau psikologi. Dalam hal ini
lingkungan paling berpengaruh pada terjadinya penyakit.
Diantaranya penyakit yang terjangkit pada unggas dan ternak besar yaitu
penyakit Coccidiosis (koksidiosis) pada unggas dan penyakit ORF (Ektima
Kontagiosa) pada ternak besar.
Avian Coccidiosis (koksidiosis) merupakan penyakit usus yang disebabkan
oleh protozoa parasit Genus Eimeria (Allen dan Fetterer, 2002). Eimeria
berkembang biak di saluran pencernaan dan menyebabkan kerusakan jaringan
(Calnek dkk., 2001). Koksidiosis pada ayam berlokasi pada dua tempat yaitu di
sekum (caecal coccidiosis) yang disebabkan oleh E. tenella dan di usus
(intestinal coccidiosis) yang disebabkan oleh delapan jenis lainnya (Jordan
dkk., 2001). Koksidiosis merupakan salah satu penyakit yang banyak mendatangkan
masalah dan kerugian pada peternakan ayam.
Kerugian yang ditimbulkan meliputi kematian (mortalitas), penurunan berat
badan, pertumbuhan terhambat, nafsu makan menurun, produksi daging turun,
meningkatnya biaya pengobatan, upah tenaga kerja dan lain-lain. Kerugian yang
ditimbulkan dapat menghambat perkembangan peternakan ayam dan menurunkan
produksi protein hewani, oleh karena itu pengendalian koksidiosis pada ayam
perlu mendapat perhatian (Tabbu, 2006).
Salah satu penyakit yang sering dilaporkan menyerang ternak kambing
dan Domba di Indonesia adalah penyakit Ektima Kontagiosa (Orf). Nama lain dari
penyakit Orf : Contagious Pustular Dermatitis, Sore Mouth, Scabby Mouth,
Bintumen, Puru, Dakangan.
Orf adalah dermatitis akut yang menyerang domba dan kambing, ditandai oleh
terbentuknya papula, vesikula, pustule dan keropeng pada kulit di daerah bibir,
lubang hidung, kelopak mata, putting susu, ambing, tungkai, perineal dan pada
selaput lender di rongga mulut.
Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk dalam grup parapoks dari
keluarga virus poks (Andrewes et al., 1978). Virus ini sangat tahan terhadap
pengaruh udara luar dan kekeringan, tetap hidup di luar sel selama beberapa
bulan, serta dapat hidup beberapa tahun pada keropeng kulit. Pada suhu kamar,
virus ini dapat tahan selama 15 tahun. Penyakit ini pada umumnya menyerang
hewan muda setelah disapih, yaitu pada umur 3 – 5 bulan, tetapi kadang-kadang
yang dewasa juga terkena. Manusia dapat tertular penyakit ini dan
memperlihatkan lesi kulit yang berbentuk bulat disertai gatal.
Angka kesakitan (morbiditas) penyakit ini dapat mencapai 90 % pada hewan
muda, tetapi angka kematiannya relative rendah. Kematian hewan biasanya
diakibatkan oleh infeksi sekunder bakteri.
Oleh karena itu,
mengingat pentingnya alasan dilakukan persentasi ini, karena untuk mengetahui
pada umur berapa unggas terkena penyakit Cocciodosis, perbedaan penularan kedua
penyakit tersebut, struktur / bentuk penyakit cocciodosis, penyebaran penyakit
ORF, dan yang sering terjakit penyakit cocciodosis pada hewan apa saja.
1.2. Tujuan Praktikum dan Kegunaan Praktikum
1.2.1. Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari persentasi
tersebut, yaitu :
1.
Untuk
mengetahui pada umur berapa unggas terjadi penyakit cocciodiosis;
2.
Untuk
mengetahui perbedaan penularan penyakit cocciodiosis dan penyakit ORF;
3.
Untuk
mengetahui bentuk / stuktur penyakit cocciodiosis;
4.
Untuk
mengetahui penyebaran penyakit ORF;
5.
Untuk
mengetahui penyakit cocciodiosis yang sering terjadi pada hewan apa saja.
1.2.2. Manfaat Praktikum
Adapun manfaat dari persentasi
tersebut, yaitu :
1.
Mahasiswa dapat mengetahui pada umur berapa unggas terjadi
penyakit cocciodiosis;
2.
Mahasiswa
dapat mengetahui perbedaan penularan penyakit cocciodiosis dan penyakit ORF;
3.
Mahasiswa
dapat mengetahui bentuk / stuktur penyakit cocciodiosis;
4.
Mahasiswa
dapat mengetahui penyebaran penyakit ORF;
5.
Mahasiswa
dapat mengetahui penyakit cocciodiosis yang sering terjadi pada hewan apa saja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Cocciodiosis (koksidiosis)
A. Gejala
Klinis
Spesies yang
berbeda akan memberikan gejala klinis yang berbeda pula, gejala klinis yang
ditimbulkan bervariasi pada infeksi bermacam spesies dan juga pada banyak
sedikitnya jumlah koksidia yang menginfeksi dan resistensi hospes. Spesies yang
kurang pathogen tidak atau sedikit menunjukan gejala klinis. Gejala klinis dari
penyakit ini yang disebabkan parasit Eimeria tenella adalah :
1. Ekskreta
berdarah dan mencret.
2. Nafsu makan
kurang.
3. Sayap
terkulasi.
4. Bulu kusam.
5. Menggigil
kedinginan.
Ayam yang
terserang koksidiosis awalnya akan menampakkan gejala klinis seperti mengantuk,
sayap terkulai ke bawah, bulu kasar (tidak mengkilat) dan nafsu makan rendah (anorexia).
Untuk infeksi E. tenella biasanya terjadi secara akut, terjadi berak
darah dan dapat menimbulkan kematian. Infeksi E. maxima menyebabkan
feses mengandung eksudat kental berwarna kemerahan dan bercampur bintik-bintik
darah.
Dari hasil
bedah ayam yang terindikasi koksidiosis, perubahan organ tubuh yang akan
ditemukan jika penyebabnya E. tenella ialah sekum membesar berisi darah
atau perkejuan yang bercampur darah. Sedangkan spesies Eimeria lainnya
menimbulkan kelainan berupa penebalan dinding usus yang disertai peradangan kataralis
(bernanah) sampai haemorrhagis (berdarah).
Koksidiosis
Menimbulkan Efek Imunosupresif
Kerugian
yang umum terjadi saat serangan koksidiosis ialah terhambatnya pertumbuhan
berat badan dan penurunan produksi telur. Tingkat kematian yang disebabkan
koksidiosis cukup tinggi dan bisa mencapai 80-90%.
Selain itu,
serangan koksidiosis juga akan menimbulkan efek imunosupresif yang menjadikan
ayam rentan terhadap infeksi penyakit lainnya. Mekanisme imunosupresif akibat
koksidiosis ialah:
·
Kerusakan jaringan mukosa usus
menyebabkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi tidak optimal.
Akibatnya terjadi defisiensi nutrisi sehingga pembentukan antibodi terganggu.
·
Peyer's patches dan caeca
tonsil di mukosa usus merupakan organ kekebalan lokal di saluran pencernaan
sehingga kerusakan kedua organ ini mengakibatkan ayam lebih rentan terinfeksi
penyakit lainnya.
·
Di sepanjang jaringan mukosa usus
terdapat jaringan limfoid penghasil antibodi (IgA), dimana IgA tersebut akan
terakumulasi di dalam darah. Kerusakan mukosa usus akan mengakibatkan keluarnya
plasma dan sel darah merah sehingga kadar IgA, sebagai benteng pertahananan di
lapisan permukaan usus pun menurun.
B. Penyebab
Koksidiosis merupakan
penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang bernama Eimeria sp famili
Eimeriidae atau yang lebih sering dikenal dengan penyakit berak darah, dimana
Eimeria ini mengivestasi bibit mikroorganisme kedalam sel tubuh sehingga
melahirkan gangguan kesehatan infestasi klinis yang merusakkan jaringan
pencernaan terutama usus. Akibatnya terjadi pada proses pencernaan berupa
gangguan metabolisme dan penyerapan zat makanan, bahkan kehilangan darah dari
rusaknya jaringan usus, dan hampir pasti rentan terhadap penyakit lain.
Penyakit
koksidiosis disebabkan oleh berbagai parasit protozoa yang termasuk dalam genus
Eimeria. Saat ini diketahui ada 9 spesies Eimeria yang menyerang
ayam, dengan 6 spesies di antaranya bersifat patogenik (menimbulkan sakit).
Keenam spesies itu adalah E. tenella, E. necratix, E. maxima,
E. acervulina, E. brunetti dan E. mitis.
Setiap
spesies Eimeria mempunyai predileksi (tempat kesukaan, red)
tertentu dalam usus ayam, sehingga luka yang ditimbulkan juga akan
berbeda-beda. Berikut rinciannya:
1.
E. tenella menyerang
khusus di usus buntu (sekum) hingga menyebabkan perdarahan di bagian usus
tersebut. Ditemukannya feses berdarah mayoritas disebabkan oleh serangan E.
tenella ini.
2.
E. necratix dan E.
maxima menyerang bagian tengah usus halus (jejunum) hingga muncul
bintik-bintik putih atau hitam di sekitar permukaan usus. Pada kasus yang parah
bisa terjadi penebalan dan penggelembungan dinding usus, disertai adanya lendir
bercampur darah.
3.
E. acervulina menyerang
bagian atas usus halus (duodenum) hingga menyebabkan pendarahan.
4.
E. brunetti menyerang
usus halus bagian bawah (ileum), rektum, sekum dan kloaka.
5.
E. mitis menyerang
hampir semua bagian usus halus.
Ø Siklus Hidup Eimeria sp.
Infeksi koksidiosis sendiri berawal
dari tertelannya ookista (semacam telur) Eimeria yang telah mengalami
sporulasi (menghasilkan spora). Ookista ini dapat ditularkan secara mekanik
melalui anak kandang, peralatan kandang, ransum, air minum atau litter
yang tercemar.
Siklus hidup dari Eimeria
secara umum terdiri dari dua tahap, yaitu tahap eksogenous dan endogenous.
a.
Tahap eksogenous (di luar
tubuh ayam)
Ayam yang
sebelumnya terinfeksi koksidiosis mengeluarkan ookista ke lingkungan luar
bersama-sama feses. Ookista yang keluar, kemudian bersporulasi menghasilkan
sporozoit dan berubah bentuk menjadi infektif (mampu menginfeksi). Lamanya
waktu ookista bersporulasi berbeda-beda antar spesies Eimeria seperti
yang tercantum pada Tabel 1.

Di
lingkungan, ookista sporulasi mampu bertahan sekitar 48 jam pada suhu 25º-28ºC
atau lebih lama tergantung dari kondisi suhu, kelembaban dan ketersediaan
oksigen dalam kandang. Jika suhu di dalam kandang rendah dan kelembabannya
tinggi, atau kondisi litter sangat lembab, maka ookista yang telah
bersporulasi dapat bertahan di lingkungan luar hingga berbulan-bulan.
b. Tahap endogenous (di dalam tubuh ayam)
Tahap ini
dimulai ketika ookista sporulasi tidak sengaja tertelan dan masuk ke dalam
tubuh ayam. Ransum dan air minum yang terkontaminasi ookista dalam feses bisa
menjadi medianya. Di dalam laryng (batang tenggorokan), dinding terluar
dari ookista sporulasi akan pecah mengeluarkan sporokista. Sporokista yang
berhasil mencapai usus halus atau sekum, akan pecah oleh kerja enzim tripsin
dan garam empedu hingga keluarlah sporozoit infektif.
Selanjutnya
sporozoit akan mulai menembus sel-sel epitel usus halus/sekum dan berkembang
menjadi schizonts berisi merozoit. Ketika matang, schizont akan pecah dan
melepaskan merozoit ke dalam lumen usus. Dalam satu schizont bisa berisi
ratusan merozoit. Merozoit inilah yang akan membelah dan memperbanyak diri
(reproduksi aseksual) serta menembus sel usus lainnya secara terus-menerus
(siklik). Karena pembelahan diri ini bersifat siklik, maka sejumlah besar sel
usus akan dihancurkan. Kondisi perdarahan usus yang biasa ditemukan pada kasus
koksidiosis merupakan akibat dari aktivitas merozoit ini.
Setelah
cukup banyak melakukan pembelahan diri, pada tahap akhir akan dihasilkan gamet
jantan dan betina. Setelah cukup matang, sepasang gamet jantan dan betina ini
akan melakukan reproduksi seksual hingga menghasilkan zigot. Selanjutnya, zigot
akan dibungkus dengan lapisan dinding pelindung dan terbentuklah ookista.
Ookista kemudian keluar dari sel epitel usus dan pada akhirnya dikeluarkan
bersama-sama dengan feses ke lingkungan luar.
Demikianlah
siklus Eimeria sp. Lamanya satu siklus hidup Eimeria berlangsung
di dalam tubuh ayam berbeda-beda tergantung spesiesnya, namun umumnya
berlangsung selama 7 hari. Pendarahan di usus halus atau sekum biasanya mulai
terlihat pada hari ke – 4 pasca infeksi. Pada hari ke – 5 hingga 6 pendarahan
akan terlihat lebih banyak dan biasanya akan disusul dengan kematian. Jika pada
hari ke – 5 sampai 6 ayam tidak mengalami kematian, maka hari ke-8 atau 9 akan
memasuki masa penyembuhan. Meski sembuh, suatu saat ayam bisa terserang
koksidiosis kembali.
Dari seluruh
bahasan mengenai siklus hidup Eimeria ini, bisa kita simpulkan bahwa
hanya dengan memakan satu ookista, beberapa hari kemudian ribuan ookista baru
dikeluarkan ke lingkungan. Bisa dibayangkan, jika kondisi litter lembab,
maka ookista akan bertahan hidup dan akhirnya menyebar serta mampu menginfeksi
banyak ayam lain dengan sangat cepat. Dan bukan tidak mungkin koksidiosis akan
menyerang peternakan dari tahun ke tahun.
C.
Diagnosa
Diagnosa sangkaan terhadap koksidiosis dapat di dasarkan atas gejala klinik,
perubahan patologik yang berhubungan dengan lokasi sejumlah besar ookista atau
stadium aseksual Eimeria (sporozoit, merozoit, skison) dan riwayat kasus Tabbu,
(2006). Diagnosa laboratorium dapat dilakukan dengan melakukan uji natif, uji
apung dan uji sentrifus terhadap feses yang diduga terinfeksi Eimeria, Sp.
D.
Umur Yang
Diserang
Koksidiosis
pada sekum oleh Eimeria tenella paling sering terjadi pada ayam muda berumur 4
minggu, karena umur tersebut adalah umur yang paling peka. Ayam yang berumur
1-2 minggu lebih resisten, walaupun demikian Eimeria
tenella dapat juga menginfeksi ayam yang sudah tua. Ayam yang sudah
tua umumnya memiliki kekebalan imunitas akibat sudah terinfeksi sebelumnya.
Pada umumnya koksidiosis sekum terjadi akibat infeksi berat dalam waktu yang
relative pendek tidak lebih dari 72 jam.
Pada ayam
umur 1-2 minggu diperlukan 200.000 ookista untuk menyebabkan kematian, dan
diperlukan 50.000-100.000 ookista untuk menyebabkan kematian pada ayam yang
berumur lebih tua. Pada kelompok ayam, mula-mula gejala terlihat 72 jam setelah
infeksi. Ayam terkulai, anoreksia, berkelompok agar badannya hangat dan hari
keempat sesudah infeksi terdapat darah di dalam tinja. Darah paling banyak
ditemukan pada hari kelima dan keenam sesudah infeksi dan menjelang hari
kedelapan atau kesembilan ayam sudah mati atau dalam tahap persembuhan. Kematian
paling tinggi terjadi antara hari keempat dan keenam karena kehilangan banyak
darah. Kematian kadang-kadang terjadi tanpa diduga. Jika ayam sembuh dari
penyakit akut maka penyakit akan bersifat kronis.
E. Penularan
Penyakit ini
dapat ditularkan secara mekanik malalui pekerja kandang, peralatan yang
tercemar atau dalam beberapa kasus yang pernah terjadi dapat disebarkan melalui
debu kandang dan litter dalam jangkauan pendek. Berat tidaknya penyakit ini
tergantung dari jumlah protozoa yang termakan.
F. Pengobatan
Ayam yang
terserang koksidiosis bisa diobati dengan pemberian obat antikoksidia.
Pemberian antikoksidia dimaksudkan untuk mengontrol dan menekan perkembangan Eimeria
dalam tubuh ayam sehingga jumlahnya yang ada di tubuh ayam bisa ditekan dalam
level rendah. Saat ini berbagai macam produk antikoksidia sudah banyak
diproduksi, baik dari golongan sulfa/sulfonamide, amprolium, maupun generasi
baru seperti toltrazuril. Namun yang harus benar-benar diperhatikan ialah dosis
dan aturan pakai, serta peringatan yang tercantum pada label obat. Hal ini
untuk mencegah resistensi spesies Eimeria. Munculnya strain Eimeria
yang resisten terhadap antikoksidia dapat menimbulkan masalah besar bagi
peternak. Kasus koksidiosis yang terus berulang adalah salah satu dampaknya.
Sebaiknya lakukan rolling menggunakan antikoksidia dari golongan yang berbeda
setiap interval 3-4 kali pengobatan.
Berikut
penjelasan mengenai beberapa contoh antikoksidia yang bisa digunakan oleh
peternak guna mengobati koksidiosis.
·
Sulfonamide:
Antikoksidia
yang masuk ke dalam golongan sulfonamide di antaranya sulfadiazine,
sulfadimethylpirimidine, sulfaquinoxaline, sulfamonomethoxine,
sulfadimethoxine, dsb. Antikoksidia golongan ini lebih efektif untuk mengatasi Eimeria
yang menyerang bagian usus halus (E. acervulina, E. maxima, E. necratix, E.
brunetti, E. mitis). Namun sulfaquinoxaline dan sulfadimethylpirimidine
efektif juga untuk Eimeria usus buntu (E. tenella).
Semua
antikoksidia golongan sulfonamide bekerja memutus siklus hidup Eimeria
yaitu dengan mengganggu proses reproduksi aseksual Eimeria. Dengan
demikian, sporozoit akan dibasmi dan tidak mampu untuk memperbanyak diri.
Karena hanya merusak sebagian proses siklus hidup Eimeria, maka
antikoksidia golongan sulfa harus diberikan dengan sistem 3-2-3 (3 hari
diberikan, 2 hari berhenti dan 3 hari diberikan lagi).
Potensi obat
sulfanamide akan meningkat 10 kali jika dikombinasikan dengan golongan diamino
pyrimidine (trimetoprim, pyrimethamin). Contoh produknya ialah Coxy dan Sulfamix (sulfonamide tunggal), Antikoksi, Duoko,
dan Trimezyn (sulfonamide
kombinasi).
·
Thiamine antagonist:
Salah satu
antikoksidia yang termasuk ke dalam golongan thiamine antagonist adalah
amprolium. Jika dikombinasikan dengan sulfaquinoxaline dapat memperluas
spektrum kerja dan meningkatkan potensi membasmi Eimeria usus halus dan
sekum. Mekanisme kerja dari amprolium ini sama dengan antikoksidia golongan
sulfonamide, yaitu mengganggu proses reproduksi aseksual Eimeria sp.
Produk yang mengandung amprolium contohnya Therapy dan Koksidex.
·
Toltrazuril:
Toltrazuril
merupakan antikoksidia golongan triazinetrione. Berbeda dengan antikoksidia
sulfonamide dan amprolium, toltrazuril bekerja efektif dengan cara mengganggu
fungsi mitokondria, yaitu dengan menghambat aktivitas enzim pada rantai
pernapasan sel sehingga akan menyebabkan kematian pada semua tahap perkembangan
sel Eimeria sp. (reproduksi seksual maupun aseksual). Contoh produk
terbaru Medion yang mengandung toltrazuril adalah Toltradex.
Selain
pemberian antikoksidia, tindakan lain yang harus dilakukan saat menghadapi
koksidiosis di antaranya:
a. Berikan
vitamin A dan K untuk terapi supportif. Vitamin A berfungsi mempercepat
kesembuhan epitel mukosa usus yang rusak. Sedangkan vitamin K akan mengurangi
pendarahan yang terjadi.
b.
Jika memungkinkan, buang feses
bercampur darah dari ayam yang sakit untuk menghindari ayam lain mematuknya.
Hal ini karena warna merah pada feses akan menarik perhatian ayam lain untuk
mematuk dan terjadilah proses penularan penyakit koksidiosis.
c.
Lakukan manajemen penanganan litter
dengan baik agar litter kering.
d.
Hindari pemeliharaan ayam dengan
kepadatan tinggi, maksimal 8 ekor/m2 untuk kandang postal.
e.
Saat persiapan kandang, terutama
untuk kandang postal, lakukan pengapuran lantai untuk mengurangi jumlah ookista
yang ada.
Toltradex, Antikoksidia dengan
Banyak Keunggulan
Toltradex
merupakan sediaan larutan oral yang mengandung toltrazuril 5%, yang tersedia
dalam bentuk larutan sehingga mudah diberikan lewat air minum. Berbeda dengan
golongan sulfonamide, Toltradex
cukup diberikan selama 2 hari berturut-turut untuk mengatasi koksidia, lebih
cepat dan efisien.
Toltradex mampu menyembuhkan (menurunkan % morbiditas/angka
kesakitan) koksidiosis pada ayam lebih baik dibanding produk sejenis dan
kontrol. Hal ini dibuktikan melalui trial R&D Medion (2013) menggunakan
ayam broiler yang terinfeksi koksidiosis. Ayam tersebut kemudian diberi Toltradex dosis 0,14 ml/kg berat badan
melalui air minum selama 2 hari berturut-turut. Hasilnya sebagai berikut:
1.
Grafik 1 menunjukkan proses
penyembuhan koksidiosis berdasarkan jumlah ookista dalam feses. Toltradex mampu menurunkan 100%
ookista dalam feses pada hari ke-7 post pengobatan, paling tinggi
dibanding produk sejenis serta kontrol (ayam sakit koksidiosis dan tidak
diobati).

Artinya, Eimeria
sp. di dalam tubuh ayam dapat dibasmi secara optimal dan tidak berkembang
menghasilkan ookista, sehingga ookista tidak ditemukan lagi dalam feses.
2.
Pada hari ke-7 post
pengobatan dengan Toltradex,
tingkat kesembuhan ayam mencapai 84,8%. Kondisi usus dan sekum (usus buntu)
ayam juga membaik, ditandai dengan luka dan perdarahan yang sudah tidak terlalu
tampak jelas.
3.
Keunggulan lain dari Toltradex ialah zat aktif toltrazuril
yang terkandung dalam Toltradex
aman dikonsumsi sebagai obat dan tidak menurunkan nafsu makan ternak, baik saat
pengobatan maupun setelah pengobatan, sehingga tidak mengganggu produktivitas
ternak. Hal ini dibuktikan oleh trial R&D Medion (2013) pada Grafik 2.
Beberapa kelompok ayam broiler yang terinfeksi koksidiosis diberi Toltradex, selama 2 hari
berturut-turut (Hari ke-1 dan ke-2).

Terjadinya
penyakit koksidiosis selama ini umumnya dipicu oleh pelaksanaan kebersihan dan
sanitasi kandang yang masih rendah. Oleh karena itu, solusi tepat yang bisa
diambil peternak ialah dengan memberikan antikoksidia yang sesuai, menerapkan
perbaikan manajemen, serta memperketat biosecurity di peternakan. Salam.
G. Pencegahan
Untuk
pencegahan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Sanitasi dan
ventilasi kandang harus baik.
2. Pengangkatan
litter setiap kali panen pada broiler.
3. Lantai
kandang dicuci pakai air untuk membersihkan kotoran, pencucian tahap kedua
dengan deterjen.
4. Menaburkan
bubuk kapur di dalam kandang.
5. Peralatan
feeder dan drinker dicuci sebersih mungkin.
6. Kandang
difumigasi dengan formalin 10%.
7. Melakukan
istirahat kandang 7-21 hari.
·
Memberantas ookista
Untuk
mencegah koksidiosis, harus dicermati bahwa protozoa/koksidia penyebabnya
memiliki siklus hidup yang panjang untuk menjadi sebuah individu Eimeria sp.
yang utuh. Oleh karena itu, pengendalian paling efektif yang pertama harus dilakukan
ialah memotong rantai siklus hidupnya sehingga ia tidak bisa berkembang lebih
lanjut.
Berawal dari
ookista yang dikeluarkan bersama dengan feses ayam, jika lingkungan sekitar
lembab dan basah, ookista akan terus berkembang dan bersporulasi hingga akhirnya
bisa menginfeksi ayam. Agar ookista tidak lanjut bersporulasi, peternak harus
melakukan sanitasi dan desinfeksi secara ketat. Tapi sayangnya, ookista relatif
tahan terhadap desinfektan yang banyak dijual di pasaran.
Tidak hanya
tahan terhadap banyak desinfektan, ookista juga sulit diberantas karena
ukurannya yang sangat kecil sehingga ia mudah diterbangkan oleh angin dan
tersebar kemana-mana. Ookista juga mudah terbawa oleh peralatan kandang,
serangga atau burung liar hingga tersebar ke wilayah lain.
Meski
begitu, masih ada cara yang bisa kita gunakan untuk memberantas ookista. Cara
tersebut yaitu memberikan kapur atau soda kaustik pada permukaan litter
yang lembab dan basah. Kapur dan soda kaustik merupakan bahan aktif yang
bersifat basa. Ketika kedua bahan tersebut larut dalam air atau media yang
basah (litter basah, red), maka akan dihasilkan panas yang tinggi.
Sementara, ookista tidak tahan terhadap suhu ekstrim panas > 55ºC. Ookista
juga dapat mati jika berada pada kondisi suhu sangat dingin (suhu beku) dan
kekeringan yang ekstrim.

H. Pengendalian
Pengendalian
koksidiosis pada ayam di Indonesia umumnya dilakukan dengan pemeliharaan
kebersihan, pemberian koksidiostat yang dicampurkan dalam makanan atau air
minumnya, dan penggunaan vaksin koksidia. Pengendalian koksidiosis dengan
pemberian koksidiostat harus diikuti cara dan takaran yang telah ditentukan
agar tidak menimbulkan efek samping, bahwa pemakaian satu macam koksidiostat
yang terus menerus dalam pakan ayam dapat menimbulkan galur coccidia yang tahan
terhadap kokidiostat tersebut (Tabbu, 2006). Antikoksidia dapat
menimbulkan resistensi terhadap koksidiosis. Industri farmasi ada usaha untuk
mengatasi masalah resistensi koksidiosis pada unggas (Allen dan Fetterer,
2002).
I.
Kerugian
Kemungkinan
kerugian yang ditimbulkan dari penyakit ini jelas terjadi berupa kemerosotan
produksi yang cukup signifikan, serta menjadi pemicu gagalnya program
vaksinasi, dengan titer antibody yang diperoleh akan rendah dan tidak optimal
dapat memicu timbulnya penyakit lain seperti ND, Gumboro, Mareks bahkan Coryza
atau biasa yang disebut infeksi sekunder.
2.2.
Penyakit ORF
Salah satu
penyakit yang sering dilaporkan menyerang ternak kambing dan Domba di
Indonesia adalah penyakit Ektima Kontagiosa (Orf). Nama lain dari penyakit Orf
: Contagious Pustular Dermatitis, Sore Mouth, Scabby Mouth, Bintumen, Puru,
Dakangan. Orf adalah dermatitis akut yang menyerang domba dan kambing, ditandai
oleh terbentuknya papula, vesikula, pustule dan keropeng pada kulit di daerah
bibir, lubang hidung, kelopak mata, putting susu, ambing, tungkai, perineal dan
pada selaput lender di rongga mulut.
Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk dalam grup parapoks dari
keluarga virus poks (Andrewes et al., 1978). Virus ini sangat tahan terhadap
pengaruh udara luar dan kekeringan, tetap hidup di luar sel selama beberapa
bulan, serta dapat hidup beberapa tahun pada keropeng kulit. Pada suhu kamar,
virus ini dapat tahan selama 15 tahun. Penyakit ini pada umumnya menyerang
hewan muda setelah disapih, yaitu pada umur 3 – 5 bulan, tetapi kadang-kadang
yang dewasa juga terkena. Manusia dapat tertular penyakit ini dan
memperlihatkan lesi kulit yang berbentuk bulat disertai gatal.
Angka kesakitan (morbiditas) penyakit ini dapat mencapai 90 % pada hewan
muda, tetapi angka kematiannya relative rendah. Kematian hewan biasanya
diakibatkan oleh infeksi sekunder bakteri.
A. Epizootiologi
Penyakit ini dikenal di Indonesia
pada tahun 1931 (Bubberman dan Kraneveld). Pada tahun 1979, penyakit ini
dilaporkan di Yogyakarta, Kudus, Banyuwangi, Pasaman, Karangasem, Negara dan
Medan.
Orf hanya menyerang kambing dan
domba. Penyakit ini menimbulkan kekebalan yang berjangka waktu lama, oleh
karenanya pada daerah-daerah enzootic penyakit ini ditemukan pada hewan muda,
sedangkan di daerahdaerah yang baru pertama kali diserang, penyakit ini
ditemukan pada hewan dari segala umur.
B. Cara Penularan
Cara penularan terjadi melalui
kontak, melalui luka-luka kulit waktu menyusui, kontak kelamin, atau kontak
dengan bahan-bahan yang mengandung virus penyakit ini. Penularan pada manusia
juga terjadi melalui kontak dengan hewan yang sakit atau bahan-bahan yang
tercemar oleh penyakit ini.
C. Gejala Klinik
Masa inkubasi berlangsung selama 2 –
3 hari. Mula-mula terbentuk papula, vesikula atau pustule pada daerah sekitar
mulut. Vesikula hanya terlihat selama beberapa jam saja, kemudian pecah/ Isi vesikula
ini berwarna putih kekuningan. Kira-kira pada hari ke 10 terbentuk keropeng
tebal dan berwarna keabu-abuan. Bila lesi di mulut luas, maka hewan sulit makan
dan menjadi kurus. Terjadi peradangan pada kulit sekitar mulut, kelopak mata,
alat genital, ambing pada hewan yang sedang menyusui dan medial kaki, pada tempat
yang jarang ditumbuhi bulu.
Selanjutnya peradangan ini berubah
menjadi eritema, lepuh-lepuh pipih mengeluarkan cairan, membentuk kerak-kerak.
yang mengelupas setelah 1 – 2 minggu kemudian. Pada selaput lendir mulut yang
terserang, tidak terjadi pergerakan. Apabila lesi tersebut hebat, maka pada
bibir yang terserang terdapat kelainan yang menyerupai bunga kool.
Kalau tidak terkena Orf dan infeksi
sekunder, lesi-lesi ini biasanya sembuh setelah penyakit tersebut berlangsung 4
minggu.
Pada hewan muda, keadaan ini bias
sangat mengganggu, sehingga dapat menimbulkan kematian. Selain itu, adanya
infeksi sekunder, memperhebat keparahan penyakit.
Pada bedah bangkai, tidak terlihat
adanya kelainan-kelainan menyolok pada alat tubuh bagian bagian dalam, kecuali
kelainan-kelainan pada kulit.
Pada manusia, gejala penyakit ini
berupa lepuh-lepuh pada tangan dan lengan. Lesi ini kemudian mengering serta
mengeras estela 2– 3 minggu.
D. Diagnosa banding
Penyakit yang mirip dengan Orf
adalah cacar pada kambing dan domba. Pada penyakit cacar lesi biasanya mulai
dengan haemoragik dan terjadi pada kulit bagian luar, serta ada tendensi meluas
keseluruh tubuh, termasukke organ-organ tubuh bagian dalam. Dengan mikroskop electron,
kedua jenis virus tadi dapat dibedakan. Pada cacar kambing, lesi yang terjadi
tidak separah seperti pada cacar domba, dan lebih mirip Orf.
E. Pencegahan penyakit
Pencegahan penyakit dapat dilakukan
dengan pemberian autovaksin pada daerahdaerah enzootic. Vaksin ini dibuat dari
keropeng kulit yang menderita, dibuat tepung halus dan disuspensikan menjadi 1
% dalam 50 % gliserin. Vaksinasi pada hewan muda dilakukan berupa pencacaran
kulit, diadakan pada kulit di daerah sebelah dalam paha, sedangkan pada hewan
dewasa dilakukan disekitar leher, beberapa minggu sebelum masa penyusuan.
Anak domba biasanya divaksinasi pada
umur 1 bulan dan divaksinasi ulang pada umur 2 – 3 bulan agar memperoleh
kekebalan yang maksimal. Reaksi timbul 7 hari setelah vaksinasi dan kekebalan
berlangsung selama 8 – 28 bulan. Hewan di daerah endemic sebaiknya divaksinasi
setiap tahun. Vaksin harus diperlakukan hati-hati agar tidak menginfeksi tangan.
Sedang botol bekas awetan segera dibakar agar tidak mengkontaminasi tanah atau
tempat diadakan vaksinasi. Pada daerah yang belum dijangkiti penyakit ini,
tidak dianjurkan mengadakan vaksinasi. Karena Orf dapat menular pada manusia,
maka pada waktu vaksinasi harus memakai sarung tangan.
F. Pengendalian dan pemberantasan
Hewan yang menunjukkan gejala sakit
segera dipisahkan dari hewan yang sehat, agar perluasan penyakit dapat
dibatasi. Di samping itu, tempat penggembalaan yang tertulari sebaiknya tidak
dipakai lagi untuk jangka waktu lama, mengingat bahwa virus Orf masih dapat
hidup beberapa bulan di udara luar. Daerah sekitar terjangkit segera diberi
vaksinasi massal agar penyakit dapat dikendalikan dan tidak menjalar lebih
luas. Hewan yang mati karena penyakit ini segera dibakar atau dikubur dalam.
G. Pengobatan
Hewan yang sakit dapat diobati
dengan antibiotic berspektrum luas untuk infeksi sekunder. Di samping itu dapat
juga diberikan multivitamin agar kondisi tubuh dapat diperbaiki. Sedang pada
kulit yang sakit dapat diberikan pengobatan lokal dengan salep atau jood
tincture.
Kambing yang sakit sebaiknya
dipisahkan sendiri dan diberi pakan rumput segar dan lunak. Hewan muda yang
telah sembuh,menjadi kebal seumur hidup.Mengingat bahwa penyakit ini dapatmenular
ke manusia, sebaiknya daging yang berasal dari hewan sakit tidak untuk
dikonsumsi. Karena itu pemotongan hewan sakit tidak diperbolehkan.
Pemotongan hewan yang sakit atau
tersangka sakit tidak dilarang dengan syarat harus di bawah pengawasan dokter hewan
yang berwenang.
BAB III
WAKTU DAN TEMPAT PERSENTASI
3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
3.1.1. Waktu pelaksanaan
Persentasi ini diadakan pada tanggal 10 Maret 2016.
3.1.2. Tempat Pelaksanaan
Praktikum
ini dilaksanakan di Gedung B lantai 2 ruangan ATB 2.1.
BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Persentasi
4.1.1.
Penyakit
Cocciodiosis


Ookista Eimeria sp. (A) dan C. perfringens (B)

Skema penularan koksidiosis
4.1.2.
Gambar
Penyakit ORF

4.2.
Pembahasan
4.2.1.
Penyakit
Cocciodiosis
Koksidiosis dan necrotic enteritis (NE) merupakan penyakit yang
sama-sama menyebabkan kerusakan di saluran percernaan, terutama di usus. Tidak
sedikit kita sering dikecohkan oleh kedua penyakit tersebut. Identifikasi
secara seksama dan teliti menjadi solusi dalam mengindentifikasi kedua penyakit
ini.
Koksidiosis pun masih tetap menjadi “idola” di dunia perunggasan. Fakta ini
tercermin pada data kasus penyakit yang menyerang ayam (tabel 1). Seperti telah
kita ketahui, langkah pencegahan koksidiosis telah kita lakukan mulai dari
penambahan koksidiostat (menekan pertumbuhan koksidia) di dalam ransum,
vaksinasi maupun pengobatan. Meskipun demikian, penyakit ini tetap menjadi
primadona di kalangan penyakit unggas. Bagaimana halnya dengan necrotic
enteritis (NE)? Berdasarkan data yang sama (tabel 1), kasus NE relatif
tidak terdeteksi. Namun hal ini bukan berarti tidak terjadi, kasus NE sering
mengikuti serangan koksidiosis.

Koksidiosis
pada sekum oleh Eimeria tenella paling sering terjadi pada ayam muda berumur 4
minggu, karena umur tersebut adalah umur yang paling peka. Ayam yang berumur
1-2 minggu lebih resisten, walaupun demikian Eimeria
tenella dapat juga menginfeksi ayam yang sudah tua. Ayam yang sudah
tua umumnya memiliki kekebalan imunitas akibat sudah terinfeksi sebelumnya.
Pada umumnya koksidiosis sekum terjadi akibat infeksi berat dalam waktu yang
relative pendek tidak lebih dari 72 jam.
Pada ayam
umur 1-2 minggu diperlukan 200.000 ookista untuk menyebabkan kematian, dan
diperlukan 50.000-100.000 ookista untuk menyebabkan kematian pada ayam yang berumur
lebih tua. Pada kelompok ayam, mula-mula gejala terlihat 72 jam setelah
infeksi. Ayam terkulai, anoreksia, berkelompok agar badannya hangat dan hari
keempat sesudah infeksi terdapat darah di dalam tinja. Darah paling banyak
ditemukan pada hari kelima dan keenam sesudah infeksi dan menjelang hari
kedelapan atau kesembilan ayam sudah mati atau dalam tahap persembuhan.
Kematian paling tinggi terjadi antara hari keempat dan keenam karena kehilangan
banyak darah. Kematian kadang-kadang terjadi tanpa diduga. Jika ayam sembuh
dari penyakit akut maka penyakit akan bersifat kronis.
Penyakit
koksidiosis disebabkan oleh berbagai parasit protozoa yang termasuk dalam genus
Eimeria. Saat ini diketahui ada 9 spesies Eimeria yang menyerang
ayam, dengan 6 spesies di antaranya bersifat patogenik (menimbulkan sakit).
Keenam spesies itu adalah E. tenella, E. necratix, E. maxima,
E. acervulina, E. brunetti dan E. mitis.
Setiap
spesies Eimeria mempunyai predileksi (tempat kesukaan, red)
tertentu dalam usus ayam, sehingga luka yang ditimbulkan juga akan
berbeda-beda. Berikut rinciannya:
6.
E. tenella menyerang
khusus di usus buntu (sekum) hingga menyebabkan perdarahan di bagian usus
tersebut. Ditemukannya feses berdarah mayoritas disebabkan oleh serangan E.
tenella ini.
7.
E. necratix dan E.
maxima menyerang bagian tengah usus halus (jejunum) hingga muncul
bintik-bintik putih atau hitam di sekitar permukaan usus. Pada kasus yang parah
bisa terjadi penebalan dan penggelembungan dinding usus, disertai adanya lendir
bercampur darah.
8.
E. acervulina menyerang
bagian atas usus halus (duodenum) hingga menyebabkan pendarahan.
9.
E. brunetti menyerang
usus halus bagian bawah (ileum), rektum, sekum dan kloaka.
10.
E. mitis menyerang
hampir semua bagian usus halus.
Ø Siklus Hidup Eimeria sp.
Infeksi koksidiosis sendiri berawal
dari tertelannya ookista (semacam telur) Eimeria yang telah mengalami
sporulasi (menghasilkan spora). Ookista ini dapat ditularkan secara mekanik
melalui anak kandang, peralatan kandang, ransum, air minum atau litter
yang tercemar.
Siklus hidup dari Eimeria
secara umum terdiri dari dua tahap, yaitu tahap eksogenous dan endogenous.
4.2.2.
Penyakit ORF
Cara penularan terjadi melalui kontak, melalui luka-luka kulit waktu
menyusui, kontak kelamin, atau kontak dengan bahan-bahan yang mengandung virus
penyakit ini. Penularan pada manusia juga terjadi melalui kontak dengan hewan
yang sakit atau bahan-bahan yang tercemar oleh penyakit ini.
Masa inkubasi berlangsung selama 2 –
3 hari. Mula-mula terbentuk papula, vesikula atau pustule pada daerah sekitar
mulut. Vesikula hanya terlihat selama beberapa jam saja, kemudian pecah/ Isi
vesikula ini berwarna putih kekuningan. Kira-kira pada hari ke 10 terbentuk
keropeng tebal dan berwarna keabu-abuan. Bila lesi di mulut luas, maka hewan
sulit makan dan menjadi kurus. Terjadi peradangan pada kulit sekitar mulut,
kelopak mata, alat genital, ambing pada hewan yang sedang menyusui dan medial
kaki, pada tempat yang jarang ditumbuhi bulu.
Selanjutnya peradangan ini berubah
menjadi eritema, lepuh-lepuh pipih mengeluarkan cairan, membentuk kerak-kerak.
yang mengelupas setelah 1 – 2 minggu kemudian. Pada selaput lendir mulut yang
terserang, tidak terjadi pergerakan. Apabila lesi tersebut hebat, maka pada
bibir yang terserang terdapat kelainan yang menyerupai bunga kool.
Kalau tidak terkena Orf dan infeksi
sekunder, lesi-lesi ini biasanya sembuh setelah penyakit tersebut berlangsung 4
minggu.
Pada hewan muda, keadaan ini bias
sangat mengganggu, sehingga dapat menimbulkan kematian. Selain itu, adanya
infeksi sekunder, memperhebat keparahan penyakit.
Pada bedah bangkai, tidak terlihat
adanya kelainan-kelainan menyolok pada alat tubuh bagian bagian dalam, kecuali
kelainan-kelainan pada kulit.
Pada manusia, gejala penyakit ini
berupa lepuh-lepuh pada tangan dan lengan. Lesi ini kemudian mengering serta
mengeras estela 2– 3 minggu.
4.2.3. Perbedaan penyebaran penyakit
coccsiodiosis dan penyakit ORF
Penyebaran
penyakit Cocciodiosis yaitu Penyakit ini dapat ditularkan secara mekanik
malalui pekerja kandang, peralatan yang tercemar atau dalam beberapa kasus yang
pernah terjadi dapat disebarkan melalui debu kandang dan litter dalam jangkauan
pendek. Berat tidaknya penyakit ini tergantung dari jumlah protozoa yang
termakan.
Pada penyakit ORF cara penularan
terjadi melalui kontak, melalui luka-luka kulit waktu menyusui, kontak kelamin,
atau kontak dengan bahan-bahan yang mengandung virus penyakit ini. Penularan
pada manusia juga terjadi melalui kontak dengan hewan yang sakit atau
bahan-bahan yang tercemar oleh penyakit ini.
BAB VI
SIMPULAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat di simpulkan bahwa :
1. Koksidiosis
pada sekum oleh Eimeria tenella paling sering terjadi pada ayam muda berumur 4
minggu, karena umur tersebut adalah umur yang paling peka. Ayam yang berumur
1-2 minggu lebih resisten, walaupun demikian Eimeria
tenella dapat juga menginfeksi ayam yang sudah tua. Ayam yang sudah
tua umumnya memiliki kekebalan imunitas akibat sudah terinfeksi sebelumnya.
Pada umumnya koksidiosis sekum terjadi akibat infeksi berat dalam waktu yang
relative pendek tidak lebih dari 72 jam.
2. Koksidiosis dan necrotic enteritis (NE) merupakan penyakit yang
sama-sama menyebabkan kerusakan di saluran percernaan, terutama di usus. Penyakit
koksidiosis disebabkan oleh berbagai parasit protozoa yang termasuk dalam genus
Eimeria. Saat ini diketahui ada 9 spesies Eimeria yang menyerang
ayam, dengan 6 spesies di antaranya bersifat patogenik (menimbulkan sakit).
Keenam spesies itu adalah E. tenella, E. necratix, E. maxima,
E. acervulina, E. brunetti dan E. mitis.
3. Cara
penularan terjadi melalui kontak, melalui luka-luka kulit waktu menyusui,
kontak kelamin, atau kontak dengan bahan-bahan yang mengandung virus penyakit
ini. Penularan pada manusia juga terjadi melalui kontak dengan hewan yang sakit
atau bahan-bahan yang tercemar oleh penyakit ini.
4. Penyebaran
penyakit Cocciodiosis yaitu Penyakit ini dapat ditularkan secara mekanik
malalui pekerja kandang, peralatan yang tercemar atau dalam beberapa kasus yang
pernah terjadi dapat disebarkan melalui debu kandang dan litter dalam jangkauan
pendek.
Pada penyakit ORF cara penularan
terjadi melalui kontak, melalui luka-luka kulit waktu menyusui, kontak kelamin,
atau kontak dengan bahan-bahan yang mengandung virus penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
AllenPC, Fetterer RH. 2002. Clinical
Microbiology Reviews :RecentAdvances in Biology dan Immunobiology of Eimeria
Species dan in Diagnosis dan Conffol of Infection with These Coccidian
Parasites of Poultry. l. Soc. Microbiol Vol. l5.No. 1:58-65.
Calnek BW, Barnes HJ, Beard CW,
McDougald LR, SaifYM. 2001. Disease of Poultry. 10' Edition. Iowa State
University Press, USA: 865-867.
Jordan F, Pattison MA, Faragher T.
2001. Poultry Diseases.5" Edition. WB Saunders. London: 408-409.
Tabbu C. R. 2006. Penyakit Ayam dan
Penanggulangannya. Volume 2. Yogyakarta: Kanisius:7; L9-2L.
Pedoman
Pengendalian Penyakit Hewan Menular Jilid II, Direktorat Kesehatan Hewan,
Direktorat Jenderal Peternakan, Departemaen Pertanian.
Penggemukan
kambing Potong, Subangkit Mulyono, B. Sarwono.
Pedoman
Praktis Beternak Kambing – Domba sebagai ternak potong, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian, 1989.
LAMPIRAN
Komentar
Posting Komentar